English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pencarian

Loading

Selasa, 31 Mei 2011

“CANDRA SANGKALA” ALA SYEKH NAWAWI Al BANTANI Oleh Manshur Mu’thi A Kafy

Candra Sangkala/Surya Sangkala adalah penulisan tahun atas suatu peristiwa disusun dalam sebuah kalimat , seperti tahun berdirinya kraton Yogyakarta misalnya, dilambangkan dalam kalimat yang berbunyi “Dwi Naga Rasa Tunggal”, dimana dwi berarti 2, naga berati 8, rasa berati 6 tunggal berati 1, dibaca  2861, cara bacanya dibalik menjadi 1682 (saka) atau 1756 M

Ketika penulis masih bekerja di Pengadilan Tinggi Agama Banten, atas bimbingan Bapak Ketua Pengadilan Tinggi Agama Soufyan Saleh SH, kami belajar mengkaji Tafsir Munir atau Maroh Labid karangan Syekh Nawawi . bersama teman teman lain, antara lain Ustadz Drs Endang Ali Maksum SH, dan Drs KH Maftuh Abubakar SH. Pada awal dari tafsir tersebut  terdapat sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa pada lafazh”Maroh labid”, disamping sebagai nama dari kitab tafsir ini, juga tersembunyi isyarat tentang tahun pembuatannya. Sebagaimana lazimnya nama sebuah kitab, nama lengkapnya cukup panjang dan puitis. Apakah Syeh Nawawi Wallahu yarham menyelipkan Candra sengkala disitu ? Sepengetahuan Penulis tradisi Candra sangkala hanya ada di budaya Jawa saja. Tetapi mengapa Syekh Nawawi Al Bantany (yang juga Al Jawy ) menyebutkan bahwa nama itu bersesuaian dengan tahun pembuatannya. Penulis penasaran dan mencoba mengutak atik  huruf huruf pada kata Maroh labid, tetapi tidak menemukan angka yang relefan, sampai putus asa. Namun setelah di Yogyakarta penulis membaca tulisan di sebuah situs di internet, yang menyatakan tentang isyarat tahun penulisan Kitab Maroh Labid, dan ada petunjuk tahun pembuatan dan tahun penyelesaian kitab tersebut yaitu awal pembuatannya 1302 H 1887 M Dan akhir pembuatannya tahun 1305 H atau 1890 Masehi. Semangat penulis untuk menyelidikinya timbul kembali, dan inilah langkah langkah yang penulis lakukan.
Perlu penulis kemukakan terlebih dulu, bahwa dalam pengajian pengajian tradisional, ada dua cara penyebutan atas huruf huruf hijaiyah yaitu :
  1. Penyebutan dengan urutan huruf huruf hijaiyah, dimulai dari alif, ba, ta, tsa, jim, ha, kha dan seterusnya. Untuk jenis ini penulis tidak akan membahasnya lebih jauh, karena tidak ada relefansinya pada pembahasan berikutnya.
  2. Penyebutan dengan urutan huruf  alif, ba, jim, dal, dan seterusnya dimana masing masing huruf dalam ilmu falak mempunyai nilai nilai hitungan tertentu, dari satu sampai dengan seribu. Urutan itu dirangkum dalam sebuah syiir, yang berbunyi sebagai berikut :
A ba ja dun   ha wa zun   ha tho ya kun   la ma nun
Sa ‘a fa shun   qa ra syun   ta tsa kho dzun   dha zha hgun

Huruf tersebut punya nilai masing masing sebagai berikut  :
ALIF  =     1    ba  =    2          jim  =     3       dal =     4         ha =      5
wau    =     6     zay =    7         ha    =    8       tha =     9        ya =    10
kaf      =   20      lam=   30        mim =   40       nun =    50        Sin =    60
‘Ain    =   70    fa    =   80       shad=    90         qaf =  100     ra =  200
syin    = 300      ta    =  400      tsa    = 500      kho =  600       dzal= 700
dhadh = 800      zha  =  900     ghain= 1000
Selain sebagai simbol bilangan, huruf huruf ini dalam ilmu falak tradisional sering dipakai untuk menyatakan nama hari berturut turut dari alif atau 1 untuk hari Ahad, hingga zai atau 7 untuk hari Sabtu . Juga untuk nama bulan dari alif / 1 untuk bulan Muharram hingga yabin ( ya dan ba) atau 12 untuk bulan dzulhijjah, juga untuk nama zodiak/buruj dari nol untuk haml/Aries, alif untuk Tsur/Taurus sampai yain (ya dan hamzah) 11 untuk khut.
Berdasar hal inilah penulis mencoba mencari kaitan antara nama maroh labid , dengan tahun pembuatannya.
Dalam kata Maroh, mim berarti 40, ro 200, alif 1, dan h 8. Jumlahnya adalah 249, jauh dari perkiraan tahun pembuatan kitab itu, tahun hijriah maupun miladiyah, juga angka 9 seharusnya menggunakan huruf tha, bukan alif dan ha.  Kata “labid”pun kalau dihitung nilainya lam 30, ba 2 ya 10 dan dal 4. Jumlahnya hanya 46, kalau disusun jadi tgl bulan dan tahun juga tidak kena, Penulis coba teliti lagi, dengan menggunakan nama lengkap dari kitab itu bukan hanya Maroh labid saja, tetapi secara lengkap, yaitu Maroh Labid Likasyfi Ma’na Qur’anin Majid, yang menurut internet tersebut artinya adalah “Terminal burung untuk menyingkap makna al Quran”.Nama yang aneh, tetapi mari kita kesampingkan dulu. Kita coba cari nilai huruf hurufnya secara keseluruhan. Diatas sudah diketahui Maroh nilainya 249, Labid, 46. Tinggal dicari huruf huruf berikutnya :

Likasyfi , lam 30, kaf 20, syin 300 dan fa 80, jumlahnya 430.
Ma’na, mim 40, ‘ain 70, nun 50 dan ya 10 jadi jumlahnya 170.
Quran qaf 100, ra 200, alif  1 dan nun 50 jumlah 351.
Majid, mim 40, jim 3, ya 10 dan dal 4  jumlahnya 57.
Jadi 249,+46+430 +170 +351 + 57 =1303 .

Angka ini hanya berselisih satu , tetapi  kalau penulisan Maroh ditulis tanpa alif, bacanya masih sama dan jumlah nilainya berkurang satu menjadi 1302. Persis seperti data tahun pembuatan terdahulu. Penulis mencoba berkali kali mengulangi penghitungannya , tetapi hasilnya  tetap, sehingga penulis menduga , ada beberapa kemungkinan akibat adanya selisih satu angka tadi :
  1. Mungkin memang penulisan Maroh tanpa alif antara ra dan h
  2. Mungkin penulis yang salah menghitung
  3. Tulisan di internet yang keliru mengambil data
  4. Kekeliruan terjadi pada waktu memindahkan dari tahun hijriyah ke miladiyah, maksudnya  th 1887 meliputi akhir tahun 1302 H dan awal tahun 1303.
Lepas dari itu semua, penulis sangat kagum dari kecerdasan Syekh Nawawi Wallahu yarham, yang dalam pemberian nama dari kitab tafsirnya, mampu ngotak atik sehingga angka tahun penyusunan kitab tafsir tersebut, tersimpan dalam sebuah kalimat yg sangat puitis maroh labiid likasyfi ma’na quran majid . Ulama Banten mengartikan Maroh labid, bukan terminal burung, tetapi kandang Singa, sehingga artinyapun menjadi cukup gagah, Kandang Singa (bukan terminal burung) guna menyingkap mana Quran yang mulia, yang terjemahan bebasnya Seekor Singa berada ditempat peristirahannya guna menyingkap arti Alquran yang mulia.
Tidak seperti Candra Sengkala  model Jawa memang, tetapi sungguh tidak mudah menyusun kalimat yang nilai hurufnya sudah ditentukan, sementara kalimatnya harus indah gagah dan menggambarkan kwalitas isi dari kitab itu sendiri. Dengan demikian penulis tidak jadi merobah judul tulisan ini, tetap “ Candra Sangkala a la Syekh Nawawi Banten” . Tulisan ini juga sekaligus sebagai kenang kenangan saya menjelang ulang tahun ke lima Pengadilan Tinggi Agama Banten 4 April 2011 mendatang ,tempat inspirasi atas tulisan ini bermula. Wallahu a’lam.(Dikutip dari: http://manshuralkaf.wordpress.com)

1 komentar:

Terimakasih atas kunjungan anda